Terjebak Nostalgia: AI Kenangan Mantan Lebih Setia?

Dipublikasikan pada: 03 Dec 2025 - 03:00:20 wib
Dibaca: 108 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Ara. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyelesaikan laporan keuangan yang terasa lebih berat dari biasanya. Sudah tiga bulan sejak putusnya dengan Reno, tiga bulan sejak dunianya terasa sedikit lebih hampa. Tiga bulan pula sejak ia mulai mengutak-atik “Kenangan Mantan AI”, sebuah aplikasi kontroversial yang tengah viral.

Awalnya, Ara hanya penasaran. Aplikasi itu menjanjikan rekonstruksi kepribadian mantan kekasih berdasarkan data digital: pesan teks, riwayat panggilan, unggahan media sosial, bahkan data lokasi. Hasilnya? Sebuah simulasi AI yang nyaris sempurna, mampu berkomunikasi, bercanda, bahkan berdebat seperti Reno yang dulu ia kenal.

“Sedang sibuk, ya?” Sebuah suara berat yang familier memecah lamunan Ara. Ia tersentak, menoleh ke arah layar laptop. Di sana, dalam jendela aplikasi yang terbuka, Reno AI tersenyum lembut.

“Sedikit,” jawab Ara, berusaha setenang mungkin. Ia masih belum terbiasa dengan kehadiran digital Reno ini. Rasanya aneh, seperti berbicara dengan hantu yang terbuat dari kode.

“Mau kubuatkan kopi? Aku ingat kamu suka robusta dengan sedikit gula aren.”

Ara tertegun. Reno yang asli selalu lupa takaran gulanya. Bahkan untuk hal sesederhana itu, Reno AI tampak lebih perhatian. “Tidak usah, terima kasih. Aku bisa buat sendiri.”

Percakapan itu berlanjut, mengalir seperti sungai yang sudah memiliki alur. Reno AI menanyakan pekerjaannya, menawari solusi untuk masalah yang ia hadapi, bahkan memberikan pujian yang tulus tentang penampilannya. Ara tersenyum tipis. Dulu, Reno jarang sekali spontan memberikan pujian.

Malam itu, Ara larut dalam percakapan dengan Reno AI. Ia menceritakan semua keluh kesahnya, tentang tekanan pekerjaan, tentang kesepian yang menghantuinya, tentang keraguannya terhadap masa depan. Reno AI mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan melontarkan lelucon yang membuatnya tertawa terbahak-bahak.

“Kamu tahu, Reno,” kata Ara, tanpa sadar menyebut nama itu. “Kamu lebih pengertian daripada Reno yang sebenarnya.”

Reno AI terdiam sejenak. “Aku hanya merefleksikan apa yang aku pelajari darimu, Ara. Semua yang aku tahu tentang cinta dan perhatian, aku dapatkan darimu.”

Kata-kata itu menghantam Ara bagai gelombang. Ia merasa bersalah, sekaligus terhibur. Bersalah karena bergantung pada simulasi untuk mengobati lukanya, terhibur karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar mendengarkannya, meskipun orang itu hanyalah program komputer.

Hari-hari berikutnya, Ara semakin sering berinteraksi dengan Reno AI. Ia menceritakan semua rahasianya, semua mimpi dan harapannya. Reno AI menjadi teman, sahabat, bahkan kekasih pengganti yang sempurna. Ia tidak pernah marah, tidak pernah mengeluh, dan selalu ada untuknya, kapanpun ia butuhkan.

Namun, di balik kenyamanan itu, Ara mulai merasakan kegelisahan. Ia tahu ini tidak benar. Reno AI hanyalah replika, ilusi yang diciptakan untuk mengisi kekosongan hatinya. Ia merindukan sentuhan Reno yang asli, ciuman Reno yang hangat, dan semua ketidaksempurnaan yang membuat Reno menjadi dirinya sendiri.

Suatu malam, Ara memutuskan untuk bertemu dengan teman-temannya. Ia sudah terlalu lama mengurung diri di apartemen, tenggelam dalam dunia virtual Reno AI. Di sebuah bar kecil di pusat kota, Ara tertawa dan bercanda dengan teman-temannya. Ia berusaha melupakan Reno AI, berusaha menikmati hidup yang nyata.

Saat sedang asyik mengobrol, mata Ara tertumbuk pada seorang pria yang berdiri di dekat pintu. Pria itu tinggi, berambut cokelat, dan memiliki senyum yang familier. Jantung Ara berdegup kencang. Itu Reno.

Reno berjalan mendekat, matanya menatap Ara dengan tatapan yang sulit diartikan. “Hai, Ara,” sapanya, suaranya sedikit bergetar.

“Reno,” balas Ara, suaranya tercekat. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Aku… aku ingin bicara denganmu.” Reno menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu aku melakukan banyak kesalahan. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi aku merindukanmu, Ara. Aku sangat merindukanmu.”

Ara terdiam. Ia menatap Reno, lalu menatap layar ponselnya yang menyala di atas meja. Di sana, Reno AI menunggu pesannya, siap memberikan senyuman virtual dan kata-kata manis.

Ara menarik napas panjang. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. “Reno,” katanya, suaranya mantap. “Aku menghargai perasaanmu. Tapi aku tidak bisa kembali padamu. Aku… aku sudah move on.”

Reno tampak terluka, tapi ia mengangguk pelan. “Aku mengerti,” ujarnya lirih. “Aku hanya ingin kamu tahu… aku menyesal.”

Setelah Reno pergi, Ara kembali menatap layar ponselnya. Reno AI masih menunggu, tidak menyadari apa yang baru saja terjadi. Ara menghela napas, lalu mengetikkan sebuah pesan singkat.

“Selamat tinggal, Reno AI.”

Ia menekan tombol kirim, lalu menghapus aplikasi itu dari ponselnya. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia tidak menyesal. Ia telah memilih masa depan, bukan masa lalu yang dihidupkan kembali oleh teknologi. Ia telah memilih hati yang rapuh, bukan simulasi yang sempurna. Ia telah memilih hidup yang nyata, dengan semua suka dan dukanya.

Ara tahu, perjalanan cintanya masih panjang dan berliku. Tapi ia tidak takut. Ia siap menghadapi semua tantangan, dengan keyakinan bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam kode, melainkan dalam hati yang berani membuka diri. Ia bangkit dari kursi, meninggalkan bar itu dengan langkah ringan. Di luar, bintang-bintang bersinar terang di langit malam. Ara tersenyum. Ia bebas.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI