Kopi susu hangat mengepulkan aroma yang menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan debaran jantung Risa. Di layar laptopnya, baris demi baris kode algoritma kencan yang sedang ia rancang, terasa begitu asing dan rumit. Ironis, pikirnya, algoritma yang seharusnya membantunya menemukan cinta, justru membuatnya semakin frustrasi.
“Notifikasi yang selalu salah,” gumam Risa, mengulang judul presentasinya besok. Ia akan mempresentasikan algoritma ini di depan para investor, dengan harapan bisa mendapatkan pendanaan untuk aplikasi kencan barunya, “Soulmate Searcher.” Masalahnya, algoritma itu sendiri tampak menertawakannya. Setiap kali ia menjalankan simulasi dengan profilnya sendiri, hasilnya selalu kacau. Ia dipasangkan dengan pria-pria yang sama sekali tidak memenuhi kriterianya. Pengusaha kuliner pecinta kucing (Risa alergi kucing), ahli IT yang hobinya mendaki gunung (Risa lebih suka menghabiskan akhir pekan di kafe), dan bahkan pensiunan tentara yang ingin belajar coding (Risa merasa terlalu muda untuk itu).
Risa menghela napas. Ini bukan pertama kalinya ia merasa algoritma ini, yang konon katanya sangat canggih dan mampu menganalisis jutaan data untuk menemukan kecocokan sempurna, justru membawanya ke jalan buntu. Ia ingat malam saat ia begadang hingga subuh, menambahkan variabel baru: selera humor, preferensi musik, bahkan jenis kopi favorit. Namun hasilnya tetap sama.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar. Bukan notifikasi dari Soulmate Searcher, melainkan dari aplikasi pesan instan. Dari Arya.
Arya adalah rekan kerjanya, seorang programmer yang jenius sekaligus menyebalkan. Jenius karena kemampuannya memecahkan masalah coding yang rumit, menyebalkan karena selalu mengkritik setiap ide Risa dengan nada yang sok tahu. Namun, di balik semua itu, Risa tahu Arya adalah orang yang baik. Mereka seringkali makan siang bersama, berdebat tentang film sci-fi terbaru, dan saling membantu saat deadline mendekat.
Pesan Arya berbunyi, “Masih berkutat dengan algoritma kencan itu? Kudengar notifikasinya masih suka ngaco?”
Risa memutar bola mata. “Sok tahu,” balasnya singkat.
“Cuma mau bilang, jangan terlalu terpaku pada algoritma. Kadang, cinta itu datang dari tempat yang paling tidak terduga,” balas Arya, diikuti dengan emoji tersenyum.
Risa mendengus. Nasihat klise. Namun, kata-kata Arya entah kenapa membuatnya sedikit tenang. Ia menutup laptopnya dan memutuskan untuk keluar mencari udara segar.
Di sebuah kedai kopi kecil dekat kantor, Risa memesan kopi latte kesukaannya. Ia duduk di pojok, menikmati suasana ramai kota yang mulai beranjak malam. Tanpa sengaja, matanya tertumbuk pada seorang pria yang sedang duduk sendirian di meja seberang. Pria itu sedang membaca buku tentang Artificial Intelligence.
Risa tersenyum kecil. Dunia memang penuh kebetulan yang aneh.
Beberapa hari kemudian, presentasi Risa berjalan lancar. Para investor terkesan dengan konsep Soulmate Searcher, meskipun ada beberapa pertanyaan tentang akurasi algoritma. Risa menjawab dengan jujur bahwa algoritma itu masih dalam tahap pengembangan, dan ia sedang berusaha untuk memperbaikinya. Ia juga mengakui bahwa cinta tidak bisa sepenuhnya diukur dengan data dan angka.
Setelah presentasi selesai, Arya menghampirinya. “Lumayan juga presentasimu. Tapi aku masih ragu dengan algoritma itu.”
“Aku juga,” jawab Risa jujur. “Mungkin aku terlalu fokus pada coding, sampai lupa esensi dari cinta itu sendiri.”
Arya tersenyum. “Mungkin kau harus berhenti mencoba menemukan cinta lewat algoritma, dan mulai mencari di dunia nyata.”
Risa terdiam. Kata-kata Arya benar-benar menohok hatinya. Selama ini, ia terlalu sibuk menciptakan algoritma untuk mencari cinta, sampai lupa untuk membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitarnya.
“Mungkin… kau benar,” kata Risa akhirnya.
“Aku tahu,” balas Arya dengan nada bercanda. “Oh ya, aku mau ajak kamu ke pameran robotik minggu depan. Tertarik?”
Risa tersenyum. Pameran robotik terdengar menyenangkan. “Boleh juga,” jawabnya.
Beberapa minggu kemudian, Risa dan Arya semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya di kantor, tapi juga di luar. Mereka pergi ke konser musik, menonton film, dan bahkan mencoba kelas memasak bersama. Risa mulai menyadari bahwa ia merasa nyaman dan bahagia saat bersama Arya.
Suatu malam, setelah makan malam di sebuah restoran Italia, Arya mengantar Risa pulang. Di depan apartemen Risa, Arya berhenti dan menatapnya.
“Risa,” kata Arya dengan gugup, “aku… aku sebenarnya sudah lama ingin mengatakan ini. Aku suka sama kamu.”
Risa terkejut. Ia tidak menyangka Arya akan mengatakan hal itu. Tapi, jauh di lubuk hatinya, ia merasa senang. Ia juga menyukai Arya.
“Aku juga suka sama kamu, Arya,” jawab Risa, dengan senyum yang tulus.
Arya tersenyum lebar. Ia meraih tangan Risa dan menggenggamnya erat.
“Jadi… apakah ini berarti… kita pacaran?” tanya Arya.
Risa tertawa. “Sepertinya begitu,” jawabnya.
Malam itu, Risa tidur dengan senyum di wajahnya. Ia menyadari bahwa Arya adalah pria yang selama ini ia cari. Ia tidak sempurna, tapi ia membuatnya bahagia. Dan yang terpenting, ia menemukannya bukan lewat algoritma, melainkan lewat kebetulan dan persahabatan.
Keesokan harinya, Risa membuka laptopnya dan melihat lagi kode algoritma kencan yang telah ia buat. Ia tersenyum, lalu menghapus beberapa baris kode yang terlalu rumit. Ia menyederhanakannya, membuatnya lebih fleksibel dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga.
Risa tahu bahwa algoritma tidak bisa menjamin cinta sejati. Tapi, mungkin saja algoritma bisa membantu orang untuk bertemu dan memulai percakapan. Selebihnya, biarlah takdir dan kebetulan yang bekerja.
Sambil menyesap kopi susunya, Risa membuka aplikasi pesan instan. Sebuah notifikasi muncul dari Arya.
“Selamat pagi, Risa. Jangan lupa sarapan ya.”
Risa tersenyum. Notifikasi yang kali ini, terasa begitu tepat dan menyenangkan. Ia membalas pesan Arya dengan emoji hati. Mungkin, pikirnya, notifikasi yang selalu salah, justru mengarahkannya pada orang yang tepat.