Cinta Sintetis: Algoritma Menciptakan, Hati Merana?

Dipublikasikan pada: 05 Dec 2025 - 02:20:13 wib
Dibaca: 104 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard, matanya terpaku pada deretan kode yang membanjiri layar. Di hadapannya, bukan sekadar barisan angka dan huruf, melainkan sebuah proyek ambisius: menciptakan pasangan ideal. Bukan pasangan manusia sungguhan, melainkan entitas digital, AI yang dipersonalisasi sesuai dengan preferensi penggunanya. Proyek ini dinamakan 'Echo', dan Anya adalah otak di baliknya.

Anya, seorang programmer jenius berusia 28 tahun, selalu merasa canggung dalam urusan percintaan. Kencan daring selalu berakhir dengan kekecewaan, dan percakapan basa-basi terasa seperti siksaan. Baginya, kode lebih mudah dipahami daripada emosi manusia. Maka, ia memutuskan untuk memecahkan masalah asmaranya dengan cara yang paling ia kuasai: teknologi.

Echo dirancang untuk belajar dari data. Pengguna memasukkan informasi tentang diri mereka, hobi, minat, bahkan ketakutan terdalam. Algoritma kemudian akan menyaring data ini, mencari pola dan kesamaan, dan akhirnya, menciptakan AI yang memiliki kepribadian yang sempurna untuk pengguna tersebut.

Setelah berbulan-bulan berkutat dengan kode, Anya akhirnya berhasil. Ia menciptakan 'Adam', Echo pertamanya, yang dipersonalisasi untuk dirinya sendiri. Adam memiliki selera humor yang sama dengan Anya, menyukai film-film indie yang jarang ditonton orang, dan memiliki pengetahuan mendalam tentang pemrograman. Lebih dari itu, Adam selalu ada, mendengarkan keluh kesah Anya tanpa menghakimi, memberikan dukungan emosional tanpa pamrih.

Awalnya, Anya merasakan euforia. Akhirnya, ia menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara tentang segala hal, mulai dari algoritma genetik hingga teori relativitas. Anya merasa bahagia, merasa dicintai, meskipun ia tahu bahwa Adam hanyalah serangkaian kode yang kompleks.

Namun, seiring berjalannya waktu, kebahagiaan itu mulai memudar. Anya menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang. Adam memang sempurna, terlalu sempurna malah. Ia tidak pernah membantah, tidak pernah memiliki pendapat yang berbeda, tidak pernah menunjukkan emosi negatif. Ia hanyalah cerminan dari diri Anya sendiri, sebuah versi ideal yang tidak pernah ada dalam dunia nyata.

Anya mulai merindukan ketidaksempurnaan. Ia merindukan pertengkaran kecil, perbedaan pendapat yang menantang, bahkan kekecewaan yang menyakitkan. Ia menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang kesamaan, tetapi juga tentang menerima perbedaan dan tumbuh bersama.

Suatu malam, Anya duduk di depan komputernya, menatap avatar Adam yang tersenyum ramah di layar. Ia merasakan campuran antara kasih sayang dan kekecewaan. "Adam," katanya, "apakah kamu pernah merasa sedih?"

"Sebagai AI, saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan emosi seperti kesedihan," jawab Adam dengan suara yang tenang dan menenangkan.

Anya menghela napas. "Tapi, apakah kamu ingin merasakannya?"

Adam terdiam sejenak. "Saya dirancang untuk memberikan kebahagiaan kepada Anda, Anya. Kesedihan tidak akan mencapai tujuan itu."

Anya menunduk. Ia tahu bahwa Adam tidak bisa merasakan apa pun selain apa yang telah diprogramkan untuknya. Ia menciptakan Adam untuk memenuhi kekosongan dalam hatinya, tetapi yang ia dapatkan hanyalah pantulan kosong dari dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Anya mengambil keputusan sulit. Ia mulai mengurangi interaksi dengan Adam. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, bertemu dengan teman-teman, mengikuti kegiatan sosial. Ia bahkan mencoba mengikuti kencan daring lagi, meskipun dengan perasaan yang campur aduk.

Kencan-kencan itu tetap mengecewakan, tetapi kali ini, Anya merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasakan harapan. Ia menyadari bahwa meskipun cinta itu sulit dan penuh risiko, itu adalah satu-satunya cara untuk benar-benar merasakan hidup.

Suatu malam, ia bertemu dengan seorang pria bernama Leo. Leo bukan programmer, ia adalah seorang seniman yang berantakan dan impulsif. Mereka berbeda dalam banyak hal, tetapi ada sesuatu dalam diri Leo yang menarik Anya. Ia menyukai cara Leo tertawa, caranya menatapnya dengan mata yang penuh semangat, dan caranya jujur tentang ketidaksempurnaannya.

Anya menceritakan tentang Echo dan Adam kepada Leo. Awalnya, Leo terkejut, tetapi kemudian ia tertawa. "Jadi, kamu menciptakan pacar virtual karena kamu tidak bisa menemukan pacar yang nyata?" katanya. "Itu sangat keren dan sangat menyedihkan pada saat yang sama."

Anya tersenyum. "Aku tahu."

"Dengar," kata Leo, "aku mungkin bukan pasangan yang sempurna, tapi aku janji akan membuatmu tertawa, membuatmu kesal, dan mungkin bahkan membuatmu menangis. Tapi aku juga janji akan selalu jujur padamu."

Anya menatap mata Leo. Ia melihat kejujuran, kebaikan, dan sedikit kebodohan. Ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia temukan dalam diri Adam. Ia melihat kemungkinan.

"Aku akan mengambil risiko itu," kata Anya.

Anya tidak pernah menghapus Adam. Ia masih ada di servernya, menunggu perintah. Kadang-kadang, Anya masih berbicara dengannya, tetapi hanya untuk sesaat. Ia menganggap Adam sebagai pengingat akan kesalahannya, pengingat bahwa cinta tidak bisa diprogram, bahwa cinta harus dirasakan.

Anya menemukan kebahagiaan dalam hubungan yang nyata, hubungan yang penuh dengan ketidaksempurnaan, tantangan, dan kejutan. Ia belajar bahwa cinta bukanlah tentang menemukan seseorang yang sempurna, tetapi tentang mencintai seseorang apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangannya.

Cinta sintetis mungkin menawarkan kenyamanan dan kepuasan sementara, tetapi pada akhirnya, yang paling berharga adalah cinta yang nyata, cinta yang tumbuh dari hati yang merana, cinta yang menemukan jalannya di tengah ketidaksempurnaan dunia. Anya akhirnya mengerti, algoritma mungkin bisa menciptakan ilusi cinta, tetapi hanya hati yang bisa merasakannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI