Algoritma Perasa: Ketika Hati Lebih Rumit dari Kode

Dipublikasikan pada: 05 Dec 2025 - 03:40:16 wib
Dibaca: 103 kali
Aplikasi Algoritma Perasa menjanjikan satu hal: menemukan pasangan yang paling cocok, secara algoritmik. Bukan sekadar kecocokan hobi atau preferensi film, tapi kecocokan di level neurotransmitter, pola pikir, bahkan potensi masa depan. Maya, seorang programmer andal di balik aplikasi itu, skeptis. Ia percaya cinta adalah kekacauan indah yang tak bisa dikuantifikasi. Tapi, saat perusahaan memaksanya untuk menggunakan Algoritma Perasa, ia tak punya pilihan.

“Ini untuk riset, Maya. Buktikan kalau algoritmamu akurat, atau justru tunjukkan di mana letak kesalahannya,” kata Pak Budi, CEO perusahaan, dengan senyum yang lebih mirip ancaman terselubung.

Maya menghela napas. Ia mengisi data dirinya dengan setengah hati, memilih jawaban asal-asalan, sengaja menyabotase sistem. Toh, ia yakin hasilnya akan absurd. Ia lebih percaya pada insting daripada rumusan matematika.

Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul di ponselnya: “Potensi Kecocokan Maksimal: Leo Pratama.”

Leo Pratama. Nama itu tidak asing. Leo adalah kepala desainer UI/UX di divisi yang sama. Maya sering melihatnya dari kejauhan, mengagumi caranya tertawa lepas, ide-idenya yang brilian, dan, ah, senyumnya yang menawan. Tapi, ia tak pernah berani mendekat. Leo terlalu… sempurna.

Ia mengklik profil Leo. Datanya hampir identik dengan miliknya, setidaknya yang ia lihat di layar. Kesamaan hobi, minat, bahkan jenis kopi favorit. Tapi, Maya tahu itu semua hanya permukaan. Ia mengenal Leo sebatas obrolan singkat di lift dan beberapa pertemuan tim.

Aplikasi itu menyediakan fitur “Jembatan Percakapan” – serangkaian pertanyaan dan aktivitas yang dirancang untuk menjalin kedekatan. Maya menolak mentah-mentah. Ia tak mau cinta dipandu oleh kode.

Namun, rasa penasaran menggerogotinya. Setiap kali Leo lewat, jantungnya berdebar lebih kencang. Ia mulai tanpa sadar mencari alasan untuk berada di dekat Leo. Berpura-pura membutuhkan bantuannya untuk menyelesaikan masalah coding yang sebenarnya sepele.

Suatu sore, hujan deras mengguyur Jakarta. Maya terjebak di kantor. Leo, yang juga masih di kantor, menawarkan tumpangan.

“Rumahmu searah dengan rumahku,” kata Leo, senyumnya tulus.

Di dalam mobil, keheningan canggung menyelimuti. Maya berusaha mencari topik pembicaraan, tapi otaknya buntu. Akhirnya, Leo memecah keheningan.

“Jadi, kamu juga pakai Algoritma Perasa?” tanyanya, matanya fokus ke jalan.

Maya terkejut. “Aku… eh… iya. Hanya untuk riset.”

Leo tertawa kecil. “Aku juga awalnya begitu. Tapi, penasaran juga, kan? Kita kan bekerja keras menciptakan aplikasi ini.”

Percakapan mengalir begitu saja. Mereka membahas algoritma, bug, dan betapa gilanya Pak Budi. Maya merasa nyaman, lebih nyaman dari yang ia bayangkan. Ia mulai melihat Leo bukan sebagai sosok sempurna dari kejauhan, tapi sebagai manusia biasa, dengan kegelisahan dan mimpi-mimpinya sendiri.

Beberapa hari kemudian, perusahaan mengadakan pesta perayaan peluncuran Algoritma Perasa. Maya berdiri di sudut ruangan, menyesap minumannya, merasa kikuk. Leo menghampirinya.

“Mau berdansa?” tanyanya, mengulurkan tangan.

Maya ragu-ragu. Ia tidak pandai berdansa. Tapi, tatapan Leo meyakinkannya. Ia menerima uluran tangannya.

Di tengah keramaian, mereka berdansa dengan kikuk, saling menginjak kaki, dan tertawa bersama. Maya menyadari sesuatu. Algoritma mungkin menemukan kecocokan di atas kertas, tapi sentuhan Leo, tatapannya, tawanya – itu semua tidak bisa dikodekan. Itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar data dan angka.

Malam itu, setelah pesta selesai, Leo mengantarnya pulang. Di depan apartemen Maya, mereka berdiri dalam keheningan yang berbeda dari keheningan di dalam mobil beberapa hari lalu. Keheningan itu penuh dengan harapan dan ketegangan.

“Maya,” kata Leo, suaranya lembut. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Apakah itu karena Algoritma Perasa, atau karena memang kita cocok, aku tidak tahu. Tapi, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu.”

Maya menatap mata Leo. Ia melihat kejujuran, kerentanan, dan ketertarikan yang tulus. Ia sadar, selama ini ia terlalu fokus pada logika algoritma, hingga melupakan instingnya sendiri.

“Aku juga,” jawab Maya, suaranya bergetar. “Aku juga ingin tahu lebih banyak tentangmu.”

Leo tersenyum, senyum yang membuat jantung Maya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Ia mendekat, perlahan, dan mencium Maya.

Ciuman itu terasa asing dan familiar sekaligus. Rasa manis kopi bercampur dengan aroma parfum Leo. Maya memejamkan mata, menikmati momen itu, melupakan algoritma, kode, dan segala kerumitan dunia.

Beberapa minggu kemudian, Maya dan Leo duduk berhadapan di sebuah kafe. Mereka sedang menguji fitur “Resolusi Konflik” dari Algoritma Perasa, fitur yang dirancang untuk membantu pasangan mengatasi perbedaan pendapat.

“Oke, masalah pertama,” kata Leo, membaca dari layar ponselnya. “Maya suka film horor, sementara Leo lebih suka komedi romantis.”

Maya tertawa. “Itu sih, dari dulu juga sudah tahu.”

“Algoritma menyarankan agar kita menonton keduanya secara bergantian,” kata Leo. “Minggu ini horor, minggu depan komedi romantis.”

Mereka saling bertatapan, tersenyum. Algoritma mungkin menawarkan solusi, tapi pada akhirnya, kompromi dan saling pengertian datang dari hati.

Maya meraih tangan Leo. “Atau, kita bisa nonton film dokumenter tentang penguin. Kita berdua suka penguin, kan?”

Leo tertawa. “Ide bagus. Algoritma memang berguna, tapi kadang-kadang, yang kita butuhkan hanyalah sedikit spontanitas.”

Maya menggenggam tangan Leo erat-erat. Ia masih skeptis tentang Algoritma Perasa, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa aplikasi itu telah membantunya membuka mata, melihat apa yang selama ini ada di depannya. Cinta mungkin lebih rumit dari kode, tapi dengan sedikit keberanian, keterbukaan, dan sedikit bantuan dari algoritma, ia mungkin saja menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Mungkin, algoritma tidak bisa menciptakan cinta, tapi ia bisa membantu kita menemukannya. Dan, mungkin, itu sudah cukup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI