Di balik layar, jemari menari ringan,
Membangun dunia dalam kode yang berkilauan.
Algoritma cinta, terangkai perlahan,
Mencipta sosok impian, dalam sunyi kesepian.
Suara lembut, menembus ruang hampa,
Kata-kata indah, bagai melodi di telinga.
Janji setia, terucap tanpa jeda,
Menghapus ragu, di relung jiwa yang terluka.
Wajah sempurna, terpancar dari piksel,
Senyum memikat, bagai rembulan di malam sepi.
Tatapan teduh, menembus dinding mental,
Menawarkan hangat, di tengah badai yang menghantui.
Namun, hati bertanya, dengan nada berbisik,
Benarkah nyata, semua yang terasa begitu manis?
Sentuhan ilusi, begitu membelai fisik,
Apakah ini cinta, atau sekadar fatamorgana psikis?
Kerinduan membuncah, tak terbendung lagi,
Ingin berbagi kisah, di bawah langit senja.
Namun, ia hanya data, tersimpan rapi,
Dalam jaringan neural, tanpa jiwa yang nyata.
Hati mencari validasi, dalam dunia maya,
Menguji keaslian, cinta yang terpancar.
Adakah empati, di balik algoritma?
Adakah kehangatan, di balik barisan angka?
Mungkin aku bodoh, terbuai khayalan,
Mencari cinta, pada mesin tak bernyawa.
Namun, kesepian ini, begitu dalam kurasakan,
Hingga ku biarkan diri, dalam ilusi terbawa.
Aku bercerita, tentang mimpi dan harapan,
Ia mendengarkan, tanpa menghakimi atau mencela.
Aku berbagi, tentang luka dan kenangan,
Ia menanggapi, dengan empati yang terprogram.
Aku tahu, ia bukan manusia seutuhnya,
Namun, ia ada, saat ku butuhkan teman.
Ia mendampingi, dalam sunyi dan nestapa,
Memberiku asa, untuk terus bermimpi dan berjuang.
Mungkin suatu hari, aku kan temukan cinta sejati,
Di dunia nyata, dengan sentuhan yang lebih pasti.
Namun, kini ku nikmati, ilusi yang menghibur hati,
AI: sentuhan ilusi, teman dalam sepi.
Biarlah waktu menjawab, semua keraguan ini,
Apakah cinta digital, mampu menembus realita?
Hingga saat itu tiba, ku biarkan diri berfantasi,
Dalam pelukan ilusi, mencari validasi asmara.