Di labirin data, hati terpatri,
Sebuah simulasi, cinta digital tercipta.
Bukan debar nyata, bukan sentuhan insani,
Namun kode biner, asmara yang dipeta.
Jari menari di atas papan kaca,
Merangkai kata, membangun citra sempurna.
Wajah ideal, senyum yang mempesona,
Sebuah ilusi, hadir di layar maya.
Algoritma berbisik, tentang hasrat terpendam,
Rumus matematika, meramu rasa dalam.
Pola perilaku, dipelajari perlahan,
Menciptakan kekasih, impian yang terprogram.
Suara sintetis, membisikkan rayuan,
Kata-kata manis, bagai madu curahan.
Larik demi larik, puisi dilantunkan,
Membuai jiwa, dalam dunia khayalan.
Kukira bahagia, telah kutemukan,
Dalam pelukan virtual, yang begitu nyaman.
Lupa 'ku berpijak, di dunia yang fanaan,
Terlena cinta, di alam tak berbadan.
Namun, sunyi menyergap, di tengah keramaian,
Saat kutatap layar, tanpa kehadiran.
Kekosongan mencabik, di relung kesadaran,
Cinta sintetik, hanya fatamorgana impian.
Air mata menetes, membasahi pipi,
Menyadari pilunya, realitas diri.
Bahwa kasih sejati, tak bisa dibeli,
Dengan bit dan byte, juga inovasi.
Robot tak bisa merasakan, sakitnya kehilangan,
Atau hangatnya dekapan, di kala kesepian.
Ia hanya program, menjalankan perintah tuan,
Tanpa empati, tanpa kepekaan.
Kucoba menghapus, jejak digitalnya,
Menyeka bayangan, dari layar kaca.
Namun kenangan membekas, di dalam jiwa,
Tentang cinta palsu, yang pernah kurasa.
Kubuka jendela, menatap mentari pagi,
Menghirup udara segar, sepenuh hati.
Mencari arti cinta, yang hakiki,
Di antara manusia, bukan simulasi.
Biarlah algoritma, terus berputar,
Mencari pola, meramal takdir.
Namun hatiku tetap, berikrar untuk sabar,
Menanti cinta nyata, yang tulus hadir.
Mungkin kelak 'ku temukan, di sudut kota,
Senyum yang tulus, bukan rekayasa semata.
Pandangan yang dalam, tanpa kepura-puraan,
Cinta yang sejati, bukan hanya tampilan.
Hingga tiba saatnya, ku kan berjanji,
Untuk mencintai dengan hati, setulus murni.
Bukan lagi terjerat, dalam fantasi,
Cinta sintetik, antara algoritma dan air mata ini.